Aku buat naskah drama lho :D Sebenarnya ini tugas Sastra Indonesia dan kalau bukan karena tugas, pasti tidak akan selesai dan berhenti di tengah jalan. Ada yang tahu bagaimana cara menyembuhkan penyakit ini?
Oh, daripada kelamaan ... Silahkan dibaca dan ini masih amatir sih, tapi bagaimana komentar kalian?
Tiga
Sekawan
Andi
adalah salah satu murid yang tidak favorit di sekolah yang favorit.
Dia tidak memiliki begitu banyak teman. Sehingga, tak banyak pula
yang mengenalnya. Setiap hari, saat istirahat, dia selalu
menghabiskan waktunya untuk membaca buku di
perpustakaan . Bukan karena dia rajin membaca, tetapi, karena dia
tidak memiliki cukup kawan untuk bermain dan tidak memiliki uang
untuk pergi ke kantin.
Siang
itu, Andi sudah berada di perpustakan sedang membaca buku
berjudul “Bersepeda untuk Kebugaran”. Pada saat itu dia sedang
asyik membaca, tiba-tiba ia mendengar suara kertas disobek. “Kreek”.
Andi : (penasaran dengan suara itu,
berusaha memastikan, berjalan menuju asal suara) Apa yang dilakukan
mereka? (mengintip di sela-sela buku di rak lain, dua teman lain
kelasnya sedang menyobek kertas di salah satu buku milik perpustakaan
sekolah)
Andi : Apa yang harus kulakukan? Apa
aku harus menegur mereka? Ataukah aku harus melaporkan kepada petugas
perpustakaan? (tanyanya dalam hati).
Andi
bingung, ia kembali ke bangkunya lagi. Namun, dia berusaha tidak
menghiraukan peristiwa itu. Ternyata, hal itu tidak terjadi sekali
saja. Beberapa kali Andi melihat kejadian itu. Kali ini Andi merasa
perlu menxari tahu.
Andi : Hari ini mereka tidak ke sini.
Aku harus tahu apa yang mereka sobek. (menuju rak tempat buku yang
diobek mereka)
Andi : Ini adalah rak pertama, aku
harus menemukan bukunya.
Dimana ya...? (membuka-buka buku satu persatuu) Nah! Ini dia!
Andi : Aku harus ke rak berikutnya.
(begitu seterusnya, hingga Andi dapat membawa semua buku)
Andi : “Sejarah Kota Kembang”,
“Dia yang Menumpuhkan Darah Rakyat”, “Rusaknya Stabilitas
Negara”, “Sang ‘Desroyer’”, “Antara Politik dan
Kesetiakawanan”, “Lebih Baik Bungkam daripada Dibungkam”,
“Surat dari Tanah Merah”, “Ibu... Aku Buta Karenamu”. (Andi
semakin bingung dengan judul-judul buku ini, kemudian dia
membalik-balik bagian yang disobek)
Saat
Andi membuka semua buku di bagian yang tersobek, ternyata Petugas
Perpustakaan (PP) melihatnya dan memperhatikan.
PP : (melihat Andi) Andi! Kamu apakan
buku-buku itu!
Andi : e...e... saya ndak tahu. Saya
dapat buku ini sudah begini, Bu.
PP : Tapi kenapa semua? Apa ini
kebetulan semua? Jelaskan!
Andi : e..e... (Andi bingung
menjelaskannya)
PP : Nah, kamu tidak bisa menjelaskan
kan?
Andi : Tapi, bukan saya yang
melakukan ini, Bu. Betul.
PP : Saya ndak mau tahu, kamu sudah
tertangkap basah merusak buku milik perpustakaan. Menurut peraturan,
kamu harus menggantinya, maksimal sebelum kamu mendapatkan ijazah.
Andi : Tapi... Bu... (belum sempat
menjelaskan, PP sudah pergi dengan raut wajah marah, setelah mencatat
buku yang ada di hadapan Andi.
)
Kebingungan Andi semkain bertambah.
Antara penasaran dengan perilaku mereka dan berusaha mencari tahu,
bingung harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak
dilakukannya.
Andi
memutuskan untuk mencari tahu apa yang dilakukan kedua temannya
tersebut sebelum memberi pertanggungjawaban pada PP. Esoknya, ia
datang ke perpustakaan seperti biasanya dan melihat kedua temannya
sedang sibuk membuka-buka halaman.
Andi :
(berdiri di belakang kedua temannya)
Anak
1 : Tidak, bukan ini ...
Anak
2 : Kelihatannya masih berhubungan ‘kan? Cepatlah, sebelum petugas
yang galak itu tahu.
Anak 1 : Tidak, cari buku yang lain.
(berbalik hendak mencari buku lain. Namun kakinya menginjak kaki
Andi)
Andi : Aduh! (Refleks meloncat-loncat
sambil memegang kaki kanannya)
Anak 1 : Whoa! (terkejut melihat
Andi)
Anak 2 : Whoa! (ikut terkejut) Hei,
apa yang kau lakukan disini?!
Andi : Eh ... aku mau mencari buku ..
(berlagak linglung)
Anak 1 : Kau menguping pembicaraan
kami?
Andi : Maaf, aku tak sengaja
mendengarnya. Sepertinya kalian kebingungan. Ada yang bisa kubantu?
Anak 1 dan Anak 2 berpandangan,
saling memberi isyarat.
Anak 1 : (berbisik pada temannya)
Menurutku dia bisa dipercaya.
Anak2 : Dia sengaja menguping!
Anak1 : Lihat, dia memakai kacamata
bingkai tebal, pakaiannya rapi dan terlihat rajin. Kutu buku sejati!
Mungkin saja dia lebih pintar dari kita.
Anak2 : Maksudmu... Oh, baiklah.
Terserah saja!
Anak 1 : (menatap Andi dan
mengulurkan tangannya) Aku Erwan dan temanku ini Didit. Dia memang
gampang marah tapi sebenarnya baik. Siapa namamu?
Andi : (menghela nafas) Aku Andi,
teman sekelas kalian.
Erwan : Sungguh? Aku tak pernah
melihatmu. (mengingat-ingat)
Andi : Sudah, tidak apa-apa. Jadi,
apa yang kalian cari?
Erwan : Kami mencari buku sejarah.
Andi : Mengenai apa? Seingatku tidak
ada tugas sejarah.
Erwan : Memang kami tidak sedang
mencari tugas, tapi hanya sekedar ingin tahu. Kau tahu buku
pemerintahan lama orbar?
Andi : Buku sejarah ada di rak ketiga
dari sana.
Erwan : Ya, tapi kami belum menemukan
petunjuk penting.
Andi : Petunjuk apa?
Didit merasa tidak nyaman dengan
percakapan ini dan memutuskan menghentikan Erwan.
Didit : Aku tak butuh bantuannya, Er.
Erwan : Kenapa? Bukankah bagus, kita
bisa mendapat faktanya lebih cepat.
Didit : Sudahlah. Jangan seret dia
dalam masalah ini.
Erwan : Tenanglah. Aku cuma meminta
bantuannya untuk membantu mencari informasi.
Andi semakin penasaran. Ia tidak mau
menyerah mencari tahu apa yang sebenarnya mereka
cari.
Andi : Aku tidak keberatan kok kalian
minta bantuanku. Kalau perlu aku akan merahasiakannya.
Erwan : Lihat. Sudah kubilang dia
bisa dipercaya.
Didit : Tapi aku tidak sependapat.
Dia orang baru! Kau tidak bisa begitu saja percaya!
Erwan : Dit, sejujurnya aku ragu
apakah kita bisa menemukan kebenarannya jika cuma berdua.
Satu-satunya jalan adalah mencari anggota yang lebih pintar.
Didit : Memang kau tahu apa soal dia?
(menunjuk-nunjuk Andi) Kenal saja barusan, kau mau cari masalah?!
Andi : (kebingungan) Maaf, tapi
sebentar lagi bel. Biar kucarikan buku yang sekiranya kalian
butuhkan.
Erwan : (tersenyum pada Andi) Ya.
Sementara
Erwan menenangkan Didit, Andi mencari buku-buku sejarah yang
kelihatannya sudah agak usang. Andi merasa tertarik dan ia harus ikut
dalam rencana kedua temannya itu. Ia kembali dan menyerahkan
buku-buku itu pada Erwan.
Erwan : Makasih. Nah ....
(membuka-buka halaman, Andi dan Didit memperhatikan) Hm .. Ini
informasi penting. (menyerahkan buku pada Didit. Didit menerima dan
membacanya. Kemudian hendak menyobek buku itu)
Andi : Jangan, jangan disobek! (Suara
Andi terlalu keras sehingga PP menoleh ke arah mereka. Dengan murka
ia mendatangi kelompok Andi dan berteriak)
PP : Dilarang menyobek atau
mencoret-coret halaman buku milik perpustakaan! (melihat Andi) Kau
lagi! Mengulangi kesalahan kemarin!?
Didit : Kabuuur! (Berlari
meninggalkan PP diikuti Erwan sementara Andi disidang di tempat,
pasrah)
Sementara
itu bel berbunyi dan murid-murid kembali ke kelas, termasuk Andi. Ia
tak melihat Erwan dan Didit di kelas. Namun ada tulisan di buku
catatannya. Andi diminta pulang sekolah nanti datang ke ruang Kimia
untuk membahas masalah tadi.
Sepulang sekolah di ruang Kimia.
Andi : Harusnya mereka ada di sini
(menegok ke kanan kiri) tapi tak ada siapa-siapa. Mereka kemana? (Ia
melihat tumpukan kertas fotokopian di salah satu kolong meja dan
membacanya. Ternyata itu lembaran fotokopian buku sejarah yang tadi
dicarinya. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki. Erwan
datang diikuti Didit. Mereka bernafas sepotong-sepotong setelah
berlarian)
Didit : (melihat kertas yang dipegang
Andi) Tuh! Kau saja yang lupa meletakkannya!
Erwan : Untung, kukira tertinggal!
(menarik kursi di sebelah Andi dan duduk) Oh iya, Ndi. Maaf tadi kami
meninggalkanmu.
Andi : (Tertawa pahit) Ya, tidak
apa-apa.
Didit : Itu salahnya sendiri
berteriak-teriak dan tidak langsung kabur.
Erwan : Apa boleh buat, PP memang
suka cari korban. (Mereka bertiga tertawa)
Andi : Ada apa kalian memanggilku?
Erwan : (menyamankan posisi duduknya)
Sebenarnya kami memutuskan untuk melibatkanmu dalam misi ini.
(melirik Didit)
Andi : (Andi duduk tegak,
keingintahuannya memuncak) Misi apa?
Erwan : Sebenarnya ini mengenai
keluarga Didit. Kau tahu kan masa pemerintahan Orde Baru yang katanya
rakyat hidup makmur itu?
Andi : (mengangguk) Ada apa
dengannya?
Didit : Ayahku kelahiran Bandung.
Sejak kecil beliau punya jiwa patriotisme dan rasa kebenaran yang
kuat. Di usia remaja beliau sudah aktif berorganisasi. Kemudian
beliau menjadi jurnalis di media yang terkenal saat itu.
Informasi-informasi yang disembunyikan oleh pemerintah dibeberkan
agar masyarakat tahu kebobrokan dalam sistemnya.
Andi : Oh, mengenai pembersihan
masyarakat yang menentang kebijakan Soeharto? Seingatku sebagian
besar informasi di media dikuasai pemerintah.
Erwan : Ya, akibatnya para ABRI yang
dielu-elukan masyarakat saat itu bertindak sewenang-wenang dengan
dalih mengatasnamakan bangsa.
Didit : Ayahku ditangkap karena
dituduh bergabung dengan PKI. Padahal beliau tidak pernah sekalipun
berniat membunuh orang!
Erwan : Jadi kita disini mencari cara
untuk membebaskan ayah Didit.
Andi : Kenapa bisa ditangkap?
Bukannya zamannya Soeharto sudah berakhir?
Erwan : Kau tahu, kan apa yang
disebut sebagai pengikut setia atau bekas aliansi?
Didit : Seperti itulah, jadi mulai
sekarang kita akan terus mencari kebenaran mengenai masalah ini.
Setiap ada informasi baru, cepat beritahu! Terutama tentang tempat
penyekapannya. Waktu dua orang waktu itu membicarakan sesuatu, aku
dengar mereka membawanya ke ‘penjara yang biasanya’.
Andi : (merasa bersemangat dan
mengepalkan tangan) Baiklah!
Di
kelas, mereka selalu bertukar informasi. Semakin lama semakin banyak
informasi yang mereka peroleh dan mereka menjadi sahabat yang tidak
terpisahkan. Teman-teman sekelas menyebut mereka dengan sebutan ‘Tiga
Sekawan’.
Mereka
menyelidiki letak insiden-insiden yang terjadi masa Orbar, seperti
pembantaian Lubang Buaya, Pembantaian umat muslim, tawanan yang
dibunuh tanpa diadili, sampai orang-orang hilang masa itu. Andi, yang
bapaknya seorang Polisi, membatu Tiga sekawan yang sedang mencari
data tentang penjara tersembunyi.
Polisi :
Penjara tersembunyi? Memang pemerintah punya bangunan seperti itu,
tapi mengenai letaknya, aku tak tahu dimana.
Andi :
Apakah penjara tersembunyi itu ada banyak, Pak?
Polisi :
Jumlahnya pun aku kurang yakin. Yang pasti mereka tersebar di wilayah
Indonesia.
Polisi 2 : Setidaknya aku pernah
dengar cerita kalau memang ada penjara bawah tanah yang sudah tidak
digunakan, tapi sudah dihancurkan.
Polisi 3 : Aku baru bekerja di sini,
tapi belum pernah dengar ada penjara tersembunyi.
Polisi 4 : Yang aku tahu penyekapan
macam itu dulu sering terjadi dan langsung dibereskan di tempat.
Andi : Begitu, Pak? Baiklah,
terimakasih, Pak.
(Tiga Sekawan terus menggali
informasi di kepolisian, namun nihil)
Andi : (menghela nafas) Informasi
kita masih kurang, polisi tidak banyak membantu.
Erwan : Namanya saja tersembunyi,
pasti sulit dicari.
Didit : Jangan mengeluh! Setidaknya
susun informasi yang kita terima!
Erwan : Selagi kalian menyusun, aku
haus. Apa disini ada minimarket?
Didit : Di dekat perempatan. Titip
untukku juga! (Erwan pergi meninggalkan Andi dan Didit)
Andi : (membaca-baca informasi yang
sudah diterima) Aku penasaran dengan penjara bawah tanah ini. Polisi
tadi menyebutkan tempatnya di dekat sini.
Didit : Mau coba periksa?
Andi : (mengangkat bahu) Belum tahu
pasti tempatnya. (Beberapa menit kemudian, Erwan muncul
tergopoh-gopoh) Ada apa, Wan?
Erwan : Aku dapat informasi baru!
Didit : Dari mana?
Erwan : (agak kebingungan) Aku tidak
tahu siapa, yang pasti, dia mantan anggota ABRI! Aku bertemu
dengannya saat berjalan ke minimarket, lalu aku dengar gumamannya.
Dia termasuk anggota yang melakukan ‘pembersihan’. (Erwan lalu
menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Dia menceritakan perihal
penjara bawah tanah yang ternyata terdapat di hutan kota yang cukup
terpencil namun dekat)
Didit : (menatap Erwan dengan curiga)
Kau tidak bicara sama orang gila ‘kan?
Andi : Kalau begitu, jelas kita harus
menyelidiki penjara bawah tanah itu!
Tiga
sekawan memulai
penyelidikan di hutan. Mereka memutari hutan dan beberapa kali
memutari, sampai
mereka menemui lubang yang berukuran kurang lebih 50 cm.
Erwan :
Itu lubang? Lubang yang rapi!
Didit :
Buat apa lubang di sini?
Andi : Dan lagi, sepertinya ada jalan
ke bawah. Jangan-jangan... (Tiga Sekawan bersorak senang namun
seseorang mendengar mereka dan berteriak)
?? :
Woiii!!
Siapa disana?!
Erwan :
(melihat wajah garang dan badan kekar orang itu) Waduh, kita
ketahuan! Kabur! (Tiga Sekawan berlari tunggang langgang dan tidak
berani menoleh ke belakang)
Esoknya,
mereka menceritakan hal itu kepada ayah Andi. Ayah Andi mengerti apa
yang diceritakan. Tapi dia tidak berpikir
negatif.
Ayah
Andi : Apakah ia membawa pistol?
Andi :
Tidak, Ayah. Tapi ia terlihat garang.
Erwan :
Bisa saja dia menyimpan pistol di markasnya.
Ayah
Andi : Dia tidak
waspada.
Andi :
Orang itu, yang kemarin berjaga di sini.
Ayah
Andi : Sepertinya ia penjaga hutan ini.
Erwan :
Bagaimana Bapak tahu?
Ayah
Andi : Lambang di pundaknya itu, lambang penjaga hutan resmi kota.
Andi : Lubangnya ada di dekat mobil
jeep itu. Kita harus membuat rencana biar tak diketahui si penjaga!
Didit :
Dibuat pingsan saja! Disini banyak balok kayu.
Erwan :
Terlalu beresiko, bagaimana kalau gagal dan tertangkap?
Ayah Andi : Meskipun penjaga hutan
sudah diamankan, belum ada kepastian apa yang ada di dalam sana.
Didit : Kalau begitu diancam saja
setelah ditahan, interogasi! (yang lain mengangguk-angguk, merasa
itu adalah ide yang bagus)
Andi : (menyadari karung pasir yang
tertata rapi di belakangnya lalu tersenyum penuh kemenangan)
Bagaimana kalau kita buat jebakan? Kita butuh tali dan tempat tinggi!
Ayah
Andi dan Tiga Sekawan mulai berdiskusi membuat rencana penangkapan
Penjaga Hutan. Mereka mendapat kesepakatan dan menyiapkan
properti-properti yang dibutuhkan. Andi berperan sebagai penarik
perhatian.
Andi :
(menimpuk kepala PH dengan kerikil dan berteriak keras) Paak tuaaa!
PH : (melotot melihat Andi) Bocaah!!
(berlari mengejar Andi sampai di titik yang ditentukan)
Ayah Andi : Lepaskan karungnya!
Erwan & Didit : (mendorong karung
pasir dari arah berlawanan. Keduanya menghantam tubuh PH, membuat PH
terjepit di tengahnya dan jatuh. Tiga Sekawan bersorak) Yes!
PH : (masih setengah sadar) Bo...
Bocah... Berandaaalll!! (Hendak berdiri, namun segera pingsan setelah
bunyi “BUAK!!”)
Didit : (memegang balok kayu yang
tadi telah dihantamkan ke kepala PH dengan kedua tangannya)
Ayah Andi : (menepuk kepala Didit)
Bagus. Sekarang kita ikat dia. (tanpa disadari, terdengar bunyi
tembakan, mengenai Ayah Andi dan membuatnya pingsan)
Andi : Ayahh!!
Didit : Aduh! (seseorang menawannya
dari belakang. Didit melihat senjata yang tadi digunakan untuk
menembak Ayah Andi)
Penjahat : Mau apa kalian kesini?
(melihat Ayah Andi) Polisi? Kalian memanggil polisi?
Erwan : Gawat!
Penjahat : Bocah, di sini bukan taman
bermain. (menodongkan pistol ke kepala Didit) Kecuali kalau kalian
memang cari mati.
Didit : Lepas! Lepas!
Penjahat : (menekan kepala Didit
dengan pistol) Diam! Kutembak kalau bergerak!
Andi : (kebingungan, menoleh ke kanan
kiri) Tidak ada senjata, tidak ada apapun!
Penjahat : Jadi, kalian ke sini mau
menangkap kami? (menoleh ke belakang dan menggumam) Duh, di saat
begini mana si botak itu?
Erwan : Bukan, kami cuma mau
membebaskan ayah teman kami!
Didit : Kau menyekap Ayahku! (Didit
mulai memberontak sekuat tenaga)
Penjahat : Oh, ayahmu? Berani juga
kau, Bocah. Di sini wilayah kekuasaan kami. Ambil sendiri resikonya.
Aku tidak peduli mau anak-anak atau orang dewasa, semua harus
“dibereskan”. (mendorong Didit dan memaksanya bersujud)
Didit : Ayahku ndak salah! Beliau
orang baik-baik!
Penjahat : Itu menurutmu, Nak! (si
Penjahat menyimpan pistolnya dan mengambil parang, hendak menggorok
leher Didit)
Erwan : (berteriak) Dit!! Jangan!!
(berlari hendak mengambil parang dari tangan Penjahat, membuatnya
sibuk menyingkirkan Erwan. Hal itu memberi kesempatan bagi Didit
untuk berdiri dan menendang perut si Penjahat)
Penjahat : (memegangi perutnya,
menahan sakit) Sialan! (Berjalan pelan-pelan kemudian memaksa
berlari, hendak menebas Didit dan Erwan bersamaan)
Andi : (berteriak) Minggir! Awas
karung pasir!! (Penjahat itu menoleh ke arah Andi dan karung itu
menabraknya. Penjahat jatuh tersungkur)
Tiga
Sekawan bersorak senang. Erwan meringis kesakitan karena tangannya
tergores tajamnya parang dan berdarah.
Didit : (tertawa mengejek) Tadi ‘kan
yang mau digorok aku, kenapa malah kamu yang kena?
Akhirnya
Ayah Didit berhasil dibebaskan. Ayah Andi juga berhasil dibawa ke
rumah sakit tepat waktu. Penjahat dan aliansinya telah diserahkan
pada polisi. Erwan dan Didit juga telah mengganti buku perpustakaan
yang telah disobek mereka dulu. Andi pun menjadi sedikit terkenal di
sekolahnya dengan
julukan ‘Tiga
Sekawan’.
0 komentar:
Posting Komentar